Pendidikan dan Peradaban yang Berbudaya
Oleh: H. Agus Setiawan, Praktisi Pendidikan. KETERKAITAN yang erat antara pendidikan dan kebudayaan dapat terlihat dari berbagai pemikiran tokoh nasional Indonesia, di mana keduanya saling membutuhkan dan mengisi. Kutipan Ir. Soekarno, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,†menunjukkan pentingnya peran pemuda dan pemudi Indonesia yang intelektual, energik, dan adaptif sebagai agen perubahan untuk membangun peradaban yang berbudaya. Menurut Soekarno, pendidikan dan guru berada di garda terdepan dalam mempersiapkan agen perubahan yang memiliki karakter bangsa yang berdasarkan pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Pendidikan yang membangun jiwa nasionalisme sangatlah penting untuk membentuk solidaritas sosial, mempererat integrasi sosial, dan membangun karakter masyarakat Indonesia yang beragam. Pemikiran Mohammad Hatta juga menegaskan hubungan timbal balik antara pendidikan dan kebudayaan, dan Supardi menyampaikan bahwa, “Materi yang diberikan kepada peserta didik pada hakikatnya adalah kebudayaan, sehingga pendidikan dan pengajaran merupakan proses pembudayaan. Sebaliknya, bagi bidang kebudayaan, melalui kegiatan pengajaran dan pendidikan, kebudayaan dapat ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnyaâ€. Dari kutipan Mohammad Hatta disini dapat terlihat bahwa di satu sisi koin, pendidikan sebagai salah satu institusi sosial penting dalam masyarakat merupakan wujud kebudayaan dengan sistem norma, peraturan, dan nilai yang berpola dapat dilihat sebagai karya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bagian dari peradaban. Akan tetapi, di sisi lain dari koin yang sama, pendidikan juga berperan sebagai “proses dan strategi untuk transformasi kebudayaan bangsa menuju masa depan yang lebih maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.†Pendidikan sebagai bagian dari transformasi kebudayaan bertujuan menanamkan sistem nilai budaya berbangsa dan bernegara Indonesia sehingga dapat terbentuk pribadi yang secara individu dan kolektif dapat berkontribusi aktif dalam membangun peradaban yang berbudaya dan demokratis baik di tingkat nasional maupun dunia. Selain kedua proklamator Indonesia, Ki Hajar Dewantara juga menjabarkan lebih lanjut bagaimana pendidikan dan kebudayaan adalah satu kesatuan utuh untuk mencapai peradaban, dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Baginya, pendidikan merupakan landasan pembentukan peradaban bangsa, di mana sekolah menjadi tempat persemaian benih benih kebudayaan bangsa dan dunia. Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini jelas terlihat dalam Asas Ketiga dari Asas Taman Siswa 1922, yang berbunyi, “Pendidikan hendaknya didasarkan atas keadaan dan budaya Indonesia.†Dengan berpegang pada kepribadian bangsa sendiri, kita mencari pola-pola kehidupan baru yang sesuai dengan perkembangan alam dan zaman, tetapi tetap memiliki pegangan yang kuat, yaitu kebudayaan bangsa. Hubungan yang tidak terpisahkan antara pendidikan dan kebudayaan ini juga dijelaskan kembali dalam Asas Taman Siswa 1947: Asas Kebudayaan, di mana pendidikan diharuskan untuk memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara menawarkan teori Trikon, yang merupakan kependekan dari istilah kontinyu, konvergen, dan konsentris. Pertama, “kontinyu†berarti pelestarian kebudayaan asli Indonesia harus terus menerus dan berkesinambungan. Dalam pelaksanaannya, teori kebudayaan dilaksanakan dengan memasukkan mata pelajaran muatan lokal, melakukan upacara-upacara adat, mementaskan kesenian daerah, dan lain-lain. Kedua, “konvergen†dapat diartikan sebagai perpaduan antara kebudayaan nasional Indonesia dengan kebudayaan asing dengan tujuan untuk dapat memajukan bangsa Indonesia. Dalam proses pemaduan atau konvergensi ini dilakukan pemilihan dan pemilahan kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian Pancasila, dan pemaduannya harus secara alami dan tidak dipaksakan. Ketiga, “konsentris†artinya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita harus berusaha menyatukan kebudayaan nasional kita dengan kebudayaan dunia, dengan catatan harus tetap berpegang pada ciri khas kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila. Melalui konsep Trikon ini, Ki Hajar Dewantara berharap pendidikan dapat membantu menciptakan masyarakat Indonesia yang tertib, damai, serta mengikuti kemajuan peradaban dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia dengan tetap berpegang teguh pada kepribadian budaya bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Dengan demikian, pendidikan nasional diharapkan dapat memajukan peradaban sekaligus menjunjung kebhinekaan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: